Jumat, 30 Januari 2009

Api Biru dari Kotoran Sapi

Api dari kompor gas milik kelompok tani Integrated Cattle Farming atau ICF Mekarsari tak beda dengan elpiji. Nyalanya biru. Minuman teh yang dimasak dari api ini rasanya juga enak. Padahal, bahan bakar pembuat api itu dari tlethong, kotoran sapi.
Tak ada tabung gas di dapur milik kelompok tani di Dusun Nogosari, Gilangharjo, Pandak, Bantul, ini. Yang terlihat hanya pipa paralon disambung ke selang kompor gas dan diberi keran. Kalau paralon dirunut akan berujung di bak penampung dari semen.
Bak yang dinamakan biodigester ini diletakkan di bawah tanah. Lewat saluran dari semen mirip selokan kecil yang ada di permukaan tanah, bak ini tersambung dengan kandang-kandang sapi. Kotoran lengkap dengan kencing sapi, setelah diguyur air, dimasukkan ke selokan kecil tadi.
Ada empat sapi penghuni kandang yang "bertugas" di sana untuk buang kotoran. Sekitar 15 kg kotoran bisa mereka hasilkan dalam satu hari, cukup banyak agar nyala api di kompor bisa bertahan 10 jam. Lumayan banyak pula untuk dipakai para ibu di dusun itu.
"Saya sering masak air di sini untuk keperluan rumah juga kalau ada pertemuan-pertemuan," kata Supartini (35) yang rumahnya hanya berjarak beberapa puluh meter dari dapur milik kelompok tani tersebut. Sebanyak 43 anggota kelompok tani ini para ibu warga Nogosari.
Biogas, bahan bakar alternatif pengganti elpiji tersebut, menemani mereka sejak lima tahun lalu. Sebagian urusan memasak dikerjakan di sini, lumayan mengirit pemakaian minyak tanah. Hanya, penggunaannya mesti gantian, maklum, kompor hanya satu buah.
"Kalau nyala api hampir mati, bak penampung kotoran itu tinggal disiram dengan air. Nanti nyalanya besar lagi. Tidak rumit kok penggunaannya, hanya mesti rajin mengurus kandang dan sapi," ujar Pait (59), sesepuh kelompok ICF Mekarsari, Kamis (13/12).
Biogas pengganti elpiji merupakan gas metan yang bisa terbakar. Untuk menghasilkan metan kotoran mesti diendapkan 15 hari. Namun, ini hanya di proses awal karena selanjutnya kotoran plus air-dengan perbandingan 1 : 3-begitu masuk bak ini langsung bisa menghasilkan gas metan.
Sebenarnya, menurut Syamsudin (35), warga yang sehari-hari membantu kelompok ini, hanya perlu dua sapi untuk mencukupi kebutuhan satu kompor. Jadi, untuk mencukupi kebutuhan rumah akan elpiji dari gas metan, ya cukup memelihara dua sapi.
Selain itu, diperlukan bak biodigester. Harganya cukup mahal, sekitar Rp 9,3 juta untuk ukuran sembilan meter kubik. Bak ini maksimal hanya bisa menampung kotoran dari empat sapi. Uang menjadi satu kendala sehingga kompor biogas baru ada sebuah di dusun ini.
Warga sendiri berencana agar setiap rumah bisa menerapkan konsep ini. Kepala Desa Gilangharjo Aan Sumarna juga menyatakan dukungan. Ia malah berharap penggunaan energi alternatif tersebut bisa diterapkan oleh warga lain.
Asal mula pembuatan biogas berawal dari bantuan biodigester dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup untuk mengolah limbah kotoran ternak. Namun, anggota kelompok, para ibu, ini jugalah yang mengerjakan tugas di kandang, dan semua berhubungan dengan kotoran serta bau.
Menariknya, selain sebagai bahan baku biogas, kotoran sapi diproses menjadi pupuk organik. Pupuk digunakan untuk tanaman pertanian juga tanaman hias. Sebuah kegiatan yang multiguna, apalagi para ibu juga tak terganggu dalam melakukan pekerjaan rumah tangga.
Ini bukan hanya mengirit biaya pemakaian minyak tanah atau elpiji yang harganya kian melambung, melainkan juga menghemat sumber daya fosil yang bisa habis itu, dan memberdayakan ternak. Tak terlalu sulit melakukan hal tersebut, kecuali bagi warga yang tinggal di perumahan.

Lukas Adi Prasetya, KOMPAS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar