Jumat, 30 Januari 2009

Menyejahterakan Masyarakat dengan Kandang Sapi Kelompok

USIANYA sudah tidak muda lagi, 59 tahun. Namun, sekalipun tak bisa baca-tulis, karena tak pernah mengenyam bangku sekolah, Mbah Pait ingin berbuat sesuatu untuk kesejahteraan warga. Ia prihatin dengan tingkat kesejahteraan warga. Selain tanah pertanian yang mulai rusak, kesejahteraan masyarakat di desanya, Gilangharjo, Pandak Bantul, sekitar 40 km ke arah Kota Yogyakarta, juga menurun. Para lelaki bekerja menjadi buruh bangunan di kota, sementara perempuan hanya bekerja jika panen padi tiba. Buruh bangunan kiranya menjadi pilihan utama, mengingat pendidikan warga 70% hanya SD dan SMP.’’Maka, untuk pekerjaan sampingan, dulu saya memelihara sapi milik tetangga desa untuk tambahan penghasilan keluarga. Karena hasilnya lumayan, banyak perempuan ikut-ikutan memelihara sapi,î ujar Mbah Pait sambil tersenyum senang. Jangan heran jika mencari rumput atau jerami untuk pakan sapi, sekalipun berat tetap menjadi pekerjaan kaum ibu. Sementara suami, tetap bekerja sebagai buruh bangunan di kota. Selain mengajak ibu-ibu untuk memelihara sapi, Mbah Pait yang berputra lima dan bercucu lima ini punya rencana mengajak para petani di desanya untuk beralih ke pertanian organik. Untuk mendapatkan pupuk kandang, dibentuklah kandang kelompok. Rencana pun berhasil dilakukan pada 2002 dengan berdirinya Kelompok Ternak Sapi Mekarsari. Sampai kini jumlah anggotanya 47 ibu rumah tangga dengan sapi 60 ekor.
Biogas Kini, lahan kas desa, tempat kandang kelompoknya yang awalnya gersang, menjadi subur dengan pertanian organik. Bahkan, sawah-sawah di sekitar kandang pun dipupuk semiorganik dengan perbandingan 60% pupuk kandang dan 40% pupuk pabrik. ’’Ke depan saya harapkan sepenuhnya pertanian organik,’’ katanya. Bersama kelompoknya, Mbah Pait ingin memberdayakan kotoran ternak sapinya. Tahun 2002 kelompoknya mendapatkan bantuan alat biodigester dari Kementerian Lingkungan Hidup. Alat tersebut berfungsi untuk mengolah limbah kotoran sapi menjadi gas yang bisa digunakan untuk memasak dan penerangan. Setelah mendapat bantuan dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta dan diberi penyuluhan dan pelatihan, kelompoknya berhasil membuat alat biodigester sendiri untuk penerangan kandang, memasak air atau bekatul untuk ternak sapi. Bahkan, kelompok ternak tersebut, dengan dibantu para suami yang kebanyakan bekerja sebagai buruh bangunan, berhasil membentuk tim yang bisa membuatkan alat tersebut bagi kelompok ternak sapi lainnya. ’’Alat ini hanyalah alat sederhana yang dibuat dari semen. Ini pekerjaan tukang batu kok. Sampai saat ini kami sudah membuat 10 alat biodigester untuk kelompok lain, bahkan sampai Klaten,’’ jelasnya. Minimal dengan tiga hingga empat ekor sapi bisa membuat alat biodigester, yang dikerjakan enam orang. Pekerjaan ini membutuhkan waktu sekitar empat bulan dengan biaya Rp 9,3 juta. ’’Limbah dari alat ini bisa digunakan untuk pupuk yang langsung kami alirkan ke sawah-sawah,’’ lanjut mbah Pait yang bersama kelompoknya, yang membuat pupuk organik dengan nama ’’Alam Hijau’’. (37)

Suara Merdeka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar